Sunday, November 05, 2006

am I agnostik?



Nop, I’m not.

Hanya karena aku suka lirik lagu Imágînë – nya John Lennon, bukan berarti aku lantas agnostik—tidak memilih gaya hidup keagamaan tertentu. Iya kan.

Imagine there's no Heaven It's easy if you try No hell below us
Above us only sky Imagine all the people Living for today

Memang ada suatu saat dalam hidupku, ketika aku mempertimbangkan pilihan itu, mungkin waktu itu aku sedang muak dengan pengkotak-kotakan manusia, kesal atas pembedaan antara si ini dan si itu, dan tidak habis pikir mengapa orang-orang itu meributkan hal-hal yang tidak perlu. Tapi aku tetap menginginkan wahana yang nyata untuk kegelisahanku, untuk menenangkan diri dan menfasilitasi dalam proses pencarianku.

Imagine there's no countries It isn't hard to do Nothing to kill or
die for And no religion too Imagine all the people Living life in peace

Ego, merasa kebenaran mutlak atas keyakinannya, sering kali terlihat konyol, especially ketika keyakinan itu dipaksakan menjadi keyakinan universal, tanpa melalui proses yang sama dengan proses terjadinya perbedaan yang ada sekarang. Memangnya gunung yang terbentuk selama berabad-abad bisa kembali rata hanya dalam tempo sehari dua hari. (kecuali jika Tuhan menghendaki).

Imagine no possessions I wonder if you can No need for greed or
hunger A brotherhood of man Imagine all the people Sharing all the world


Kalau seorang anak stress dan jadi korban broken home lantaran orangtuanya tidak pernah akur. Berarti Penduduk dunia sekarang juga sudah stress menjadi produk broken world lantaran pemimpin dunia yang tidak juga berhenti perang. (beberapa hari yang lalu saja 98 orang tentara AS dalam satu hari meninggal di perang Irak, hah! Itu yang memegang senjata canggih, lalu penduduk Irak sendiri berapa orang!)

Karena perang, semua orang jadi korban, gimana nggak stress. Anak broken home masih bisa ditampung di salah satu tempat rehabilitasi dan konsultasi. Lalu, kalau penduduk dunia bagaimana? Nggak mungkin kan di tampung di planet lain—setidaknya sampai saat ini.

Karena tidak ada lagi tempat untuk berlari, satu-satunya jalan ya make better our beloved world. Masih banyakkah jalan ke Roma? Hem, bagiku, salah satu jalan yang terbaik mungkin semacam terapi umat manusia untuk menuju ke arah yang lebih baik, for example terapi ”Memahami dan Dipahami.”

Seperti saat ini cahaya, aku pun sedang berusaha memahamimu, being agnostic memang jalan hidupmu sekarang. No reasons, katamu, mungkin sedang lelah ya, jadi hanya ingin menjalani saja tanpa harus sibuk menyiapkan alasan atas pilihan hidupmu. Sedangkan aku, kalau kamu balik bertanya: ya karena aku punya harapan menemukan jawaban-jawaban atas kegelisahanku dalam agamaku ini, memilikinya untuk ketenangan jiwa dan pikiran, serta sebuah petunjuk hidup yang semoga bisa membawaku ke kehidupan yang lebih baik, bisa dipahami? I hope so. Hem, mari kita saling memahami dan dipahami.

Managing Emotion



Pagi itu Eyang membaca diriku, di hadapan wajah Yesus dan putaran musik new age beliau menusukku dengan sebutan: Perempuan Pemarah. Padahal pada jam itu aku sedang menghadapnya dengan tersenyum cerah, tertawa-tawa sehabis bertemu malaikat kecilku.

Aku bertanya: "Kenapa Eyang berkata begitu?" beliau tidak menjawab, selanjutnya beliau justru membicarakan tentang indung telurku yang tidak muncul-muncul, juga soal dua tempat di rahimku yang kosong melompong dan nasehat tentang doa-doa kesuburan.

Ketika aku pamit undur diri, baru Eyang tiba-tiba berkata dengan senyum di wajahnya: "Kenapa kamu selalu marah pada semua hal adalah karena bibit dalam hidupmu, jadikan kesabaran mengalahkannya, berdoalah, sehingga pada saatnya nanti kau dapat mendidik anak-anakmu menjadi manusia yang penyabar."

Aku terdiam, tersenyum dan mengangguk. Dalam hati aku berkata dan berjanji: aku akan lebih bersabar, berlatih mengelola emosi dan mengembangkan kasihku.