Diménsï waktûmü dan kú
Dimensi waktumu dan ku begitu dekat, bahkan mungkin, pada saat perjalanan pulang ini aku melewati langkahmu yang cepat-cepat mengukur aspal trotoar. Tapi sekarang hati kita begitu jauh sayang, sehingga lariku pun melaju kencang, melewatkan saat-saat ketika kita masih bisa berdamai dengan sore hari, tanpa harus kelelahan pulang kerja, dan berdesakan dengan macet yang menghimpit sempit.
Kau ingat dimensi waktu kita dulu?
Kau di selatan dan aku di utara, melewati tiga aliran sungai kita mondar-mandir mencoret muka jalanan dengan jejak kaki dan roda-roda motor tumpangan, aku tahu saat itu kau sering melukisku dalam kesadaran yang fana, juga kerap kali tiba-tiba kau memotretku dalam tiga kedipan matamu. Semua aku buatkan album dalam nukilan-nukilan syaraf otakku yang bermemori rapuh dan jauh dari keabadian.
Hingga sayang, aku mulai melupakanmu...
Satu, dua, tiga, aku Cuma punya satu momen tak lengkap untuk mengingatmu, bisakah itu ditebus dengan perasaan sesal?
Kenapa dulu tidak simpan lebih rapi lukisan-lukisanmu, lalu kusatukan dengan foto-foto jepretanmu, lalu kuatur dengan klasifikasi dewey agar mudah menemukannya kembali saat diperlukan.
Ah! Aku terlalu sibuk untuk menolakmu masuk dalam waktuku. Aku bahkan menyiram lebih sering dan memupuk lebih banyak pagar tanaman jiwaku, hanya sekedar untuk memastikannya cukup tinggi agar tidak dapat kau lewati. Hingga akhirnya aku justru kehilangan makna.
Sayangku, aku sudah hampir sampai, di mana kau? Kemana saja selama ini? bahkan untuk mensejajari langkahku pun kau sudah menyerah.
2006